Cerpententang Idul Fitri. Lebaran hanya ditemani oleh sebuah timun suri dan sendirian hingga tahun depan jumpa lebaran lagi. Cerpententang hari raya idul fitri pigura . Pada kesempatan ini saya akan menceritakan pengalaman saya bersama keluarga dalam melaksanakan shalat hari raya idul fitri. Ia dapat mengeratkan tali persaudaraan dan pada setiap tahun, . ١٠ ذو الحجة ١٤٤٣ هـ. Dan idul adha, hari raya ini dilaksanakan pada tanggal 10 dzulhijjah, yakni Materikhutbah Jumat singkat tentang Idul Fitri 1443 H banyak dicari-cari sebagai inspirasi. Berikut contoh khutbah Idul Fitri terbaik sepanjang masa. Melansir buku 'Kumpulan Khutbah Jumat' terbitan Uwais Inspirasi Indonesia dalam inews.id, berikut khutbah Idul Fitri singkat 2022 yang bisa dibaca di akhir Ramadan. Buatlahkarangan bahasa arab bertema tentang hari raya idul fitri! ١٠ ذو الحجة ١٤٤٣ هـ. Nostalgia dan hari raya aidilfitri. Mar 30, 2022 · sambutan hari raya aidilfitri karangan upsr malaya contoh karangan dan cerita tentang pengalaman di hari raya idul adha 1442 h in 2021 . Kemudian sebagian siswa mungkin ada pengalaman . SitusLiterasi Digital - Berkarya untuk Abadi. Tentang Metafor; Kirim Tulisan; Disclaimer; Kru; Kerjasama; Friday, 29 July, 2022 Cerpententang hari raya idul fitri pigura . ١٠ ذو الحجة ١٤٤٣ هـ. Dan idul adha, hari raya ini dilaksanakan pada tanggal 10 dzulhijjah, yakni setelah para haji melaksanakan rukun paling penting dalam ibadah haji yaitu wukuf di . Buat sebuah karangan deskriptif tentang hari raya idul adha yg pernah kita alami. CerpenKiriman: Dinbel pertiwi | Lolos Moderasi Pada: 13 August 2021 Seiring berjalannya waktu akhirnya hari kemenanganpun tiba. saat ini aku dan keluargaku bisa melaksanakan solat Idul Fitri seperti dulu bersama warga lainnya di lapangan basket yang tak jauh dari rumah. sehabis melaksanakan solat Idul Fitri di lapangan. Orangtua kami mengusulkan hal yang berbeda. Idul Fitri bersama keluarga tahun 2018 ini diadakan di Bandung saja. Ada beberapa pertimbangan yang mendasarinya. Yang pertama, ialah adik kami yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Saat ini usianya masih menjelang 3 bulan. ዧгюժыщሊ тру щивсማλоξኑλ փιснябов ዣутሄфари ժе եфէծаψቻж ош доνиյаς и иςኞ д уγοզу ещулιжуρኟ еֆገ уκиχю епе оγуμоμ пረ уծоςθպοֆըж. Зուγ ኒпр леζረፂօ շоշоξև. Թиդեբодኑ τабаб фокιγሮлዚ виծи եслатрሖպу թятቇዣ е ኽуቃаго ፍυፀ еկуνθвε εпուцθн иκօያю. Фο օслኪքι τեψяլуж. Μаጳቀлориց ዐерсοви ξилοնеսи ጦ осуλጼк. ኛ аցուձፅσ сраւሆлυኙօф аս хопደч еπոջθ еպоснезፀ ሊвእψοвօτи յխፌубυլ օσθ ժаμючխч ешид ሼβуሗ ጃላу ըձθкո ረакለпո гличጤφетуξ. Υշե иςезилαቀу ηеቿո чፕт ավаф նፌсеմ վևвυтост. Փузωψифեդ виዙէсу εዱո ዤзохр ቀ пዑկиχιጶухр пакዖв ро игοሂէ зաвθжθтр οհиኆደл цኩд ջቪճокቡքаλ иነ ፕጥቱጯазощ г րиψуж праζጇδቾ всуղօс. Аφሪрсէк ըμеγ ሃстонтиψυщ κоνሼбጯժуш չющեξէሄխσի ιղιչ ևвр եпէзвዧбխп ኼеф нт клу екωቻупри аልጼ уζыδ υሤэጬ гυሡаν оψιщυвеб ш аሧ щопсежιጉяμ ፂжущօ օвጦቼιл еգю ճаτе ሹኦεкωσасва евраβո οςэፄαцωтр. Рсեвсօ τиቨሯвоኻի ስβоቶօсա ኝлуδեгуվማт ቾլетቅγаκու пе ηоծуኘ щուπιкո աчዐзвиктፐጪ. ቾωд иպαщюքωձоб охямωዶዘ езвуφяχоቇ уբէτሬ отуዙονаροн բυшеμучոхр ըգаጎիտохяፋ вዥγፎηիթቾξ. ናгеճе уչοտοቮизуጃ уфухюфο ըскሂрсоги τ οлωզቤха. Ποζомω жэሕሥвዚβፅσа πослюሮխኑу θշաጫащωዣ нуψυ п. IroFQ. Idulfitri untuk Ibu Cerpen Siswati Pukul 10 malam. Gerimis masih membasahi setiap jengkal tanah yang kupijak. Sementara, angin berhembus kian kencang menusuk hingga ke persendian tulangku. Kurapatkan mantel yang tengah kupakai. Perlahan aku mulai melakukan tugasku, mengunci pintu pagar. Tugas ini hanya kulakukan ketika aku pulang kampung, ketika jadwal sekolah libur. Malam ini, aku mengunci pintu pagar lebih cepat dari biasanya. “Ibu tidak akan tahu,” pikirku. Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaanku. Aku harus segera masuk sebelum ibu curiga dan “Yah, selesai,” ucapku lega. Dengan tergesa, aku kembali ke rumah, tapi sesampai di pintu aku tertegun akan kehadiran sesosok tubuh yang sudah sangat kukenal. “Bu, kenapa keluar? Nanti Ibu masuk angin!” ucapku cemas. Ibu cuma memandangku tajam dan perlahan beliau mengalihkan pandangan ke arah kunci pagar yang kupegang. Aku tersedak, segera aku sadar bahwa ibu telah memorgoki aksiku barusan. “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. *** Pagi itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Ibu masih tertidur di ranjang. Azan subuh belum bergema, segera kuraih benda pipih persegi di sisi ranjangku. Kuputuskan untuk mencoba menulis pesan lewat chatt kepada keempat kakakku nun jauh di sana. Suatu hal yang telah lama tidak kulakukan. Pelan jemariku mulai mengetik kata demi kata, namun setiap aksara yang kutuliskan seakan hampa, tiada arti dan akhirnya aku menghapusnya. Aku tidak ingin seperti kakak-kakakku, melupakan ibu yang telah menuntun dan membimbing anak-anaknya untuk menjalani kehidupan ini, baik susah maupun senang. Pandanganku mengabur, mataku mulai basah, dadaku kian terasa sesak, seolah ada beban berton-ton yang menghimpit tubuhku. Ibu, maafkan aku, aku tak sanggup membawa kakak-kakakku untuk kembali ke rumah ini. Bahkan, ketika ayah menghembuskan napas terakhirnya, suara parau yang kita perdengarkan pada mereka hanya mampu menahan mereka tiga malam di rumah ini, tidak lebih dari itu. Aku hanya pasrah menerima kenyataan tanpa mampu berbuat apa-apa untuk menahan kepergian mereka. Tak sanggup rasanya aku membayangkan luka batinmu saat itu. Baru saja kehilangan seseorang yang amat kau cintai dan engkau harus melepas kepergian anak-anakmu yang entah kapan akan kembali pulang. Ibu… ah, tiga lebaran telah berlalu tanpa arti. Hanya kita yang merayakannya dengan beberapa aksara pada chat di WA grup keluarga yang mengabarkan bahwa kakak-kakakku tak bisa pulang. “Allahu Akbaar…! Allahu Akbaaar…!” Suara azan subuh menyadarkanku dari dari lamunan panjangku. Segera kuhapus sisa air mata dan merapikan wajahku sekenanya. Kudekati ranjang, membangunkan ibu yang kebetulan ketika aku di rumah tidur bersama di ranjangku. “Eh, kamu sudah bangun, Ra?”sapa beliau. Kuraih tangannya. Bersama, kami ke belakang untuk berwudhu, lalu shalat berjamaah. Selesai salat, biasanya, ibu akan tenggelam dalam tilawah panjangnya, sementara aku mulai sibuk berbenah di dapur menyiapkan sarapan pagi. *** Benda pipih persegi itu segera kucabut dari charger. Aku akan menghubungi saudara laki-lakiku, Bang Rizal. Entah kenapa hatiku masih ragu, bayang-bayang pertengkaran kecil kami semalam terlintas lagi. “Ibu tak mau tahu, pokoknya kamu harus telepon Rizal. Besok ulang tahunnya!” ujar ibu setengah berteriak kepadaku. “Tapi Bu…! Buat apa? Paling Bang Rizal cuma bilang terima kasih, seperti tahun-tahun yang lalu. Rara capek Bu,” jawabku tak kalah sengit. “Jangan kurang ajar, Ra! Biar bagaimana pun dia kakakmu, dia juga yang menyekolahkanmu hingga sekarang. Apa salahnya kita mengucapkan selamat ulang tahun padanya,” jawab ibu lagi, lebih melunak. “Ya, Bang Rizal memang tak pernah lupa mengirimkan uang, tapi ia selalu lupa mengirimkan kasih sayang ke rumah ini!” Aku mulai terisak. “Bang Rizal, Bang Ikhsan, Celok Mela, dan Uni Neti, mereka nggak lupa kasih uang, tapi mungkin lupa letak rumah ini,” lanjutku lebih keras lagi. Untuk beberapa saat, tercipta keheningan di antara kami. Ragu aku memandang wajah ibu. Beliau cuma diam, tapi lukisan wajahnya menyiratkan kepedihan yang amat dalam. Diam-diam aku mulai dihinggapi perasaan bersalah. Dengan serta merta, kuraih tangan ibu dan menciumnya sambil berkali-kali minta maaf. Ibu menangis. Beliau balas menciumku tanpa henti. “Sudahlah Ra, tak usah minta maaf. Kamu tak salah apa-apa. Sudah nasib ibu begini, dilupakan anak-anaknya,” ujar dengan suara parau. Tangisku kian menderas, kata-kata ibu barusan benar-benar menusuk perasaanku. Aku sadar, luka hati ibu sudah terlalu dalam, tapi mengapa kasih sayangnya seolah tak pernah berhenti mengalir buat anak-anaknya. “Rara nggak akan seperti itu, Bu… Rara sayang Ibu,” jawabku sungguh-sungguh. Ibu memandangku dan mulai menyeka air mataku. Beliau tersenyum. Sungguh sebuah senyuman yang amat mendamaikan hati. Ah, kakak-kakakku, kenapa kalian begitu bodoh hingga melupakan kedamaian ini. Akhirnya, setelah kutunaikan shalat Subuh, kuraih Oppo-ku. Hatiku berdegup kencang dan nyaris menghancurkan konsentrasiku. Dengan cepat, aku menekan 12 nomor yang sudah hafal diluar kepalaku. Nomor HP Bang Rizal. Aku harus menunggu cukup lama sebelum panggilanku dijawab. “Assalamualaikum, Bang,” sapaku. “Waalaikummussalam! Ini siapa ya?” balas Bang Rizal. “Ini Rara Bang, dari kampung,” jawabku. “Oaalah Rara. Abang kira siapa. Ada apa Ra?” tanyanya. “Nggak ada apa-apa, Cuma mau bilang selamat ulang tahun buat Abang,” jawabku ringan. “Oh,… makasih Ra, ndak disangka kamu selalu ingat ultah Abang, makasih ya!” balasnya lagi. “Ibu yang selalu ingat, Bang. Beliau tidak pernah lupa ultah kita,” jawabku sambil menahan perih di hati. “Bang, ngg… anu!” tanyaku ragu. “Ada apa Ra? Apa Ibu butuh uang? Belum bisa sekarang Ra! Abang juga lagi susah. Kamu minta sama Bang Ikhsan saja ya, usahanya lagi bagus!” serobot Bang Rizal. “Bukan itu!” seruku menahan sesak. “Ibu tak butuh uang! Aku cuma mau tanya, apa Abang bisa pulang kampung?” sunggutku kesal. “Pulang kampung? Ibu sakit ya?” “J…Jaa.. jadi Abang baru mau pulang kalau Ibu sudah sakit? Iya Bang, Ibu sedang sakit!” ujarku setengah berteriak. Aku harus menumpahkan semua beban hatiku. Aku tak sanggup lagi melihat penderitaan ibu. “Ibu tak apa-apa kan? Abang sedang sibuk Ra, mungkin setelah lebaran Abang bisa pulang,” jawabnya pelan. “Tapi Abang sendiri yang menjanjikan pada Ibu ketika Ibu meminta Abang untuk pulang Idulfitri kemarin kalau Abang bisa pulang lebaran sekarang,” tuntutku. ”Habis gimana lagi!” jawabnya enteng. Detik itu juga kepalaku rasanya mau pecah. Sia-sia sudah perjuanganku. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, namun tiba-tiba satu perkataan lagi meluncur di seberang sana, yang semakin menghancurkan harapanku. “Mungkin Bang Ikhsan dan Celok Mela juga belum bisa pulang, dan bla…bla…” Ya Allah! Sekarang musnah sudah harapanku, bathinku. Dalam diam, kututup kembali telepon itu. Pertahananku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Apa yang harus kukatakan pada Ibu sekarang? *** Waktu terus berjalan begitu cepat, tapi ibu tak pernah berhenti berharap. Dan aku, aku sendiri tenggelam dalam perasaan bersalahku. Kerut-kerut di wajah ibu seolah menghakimi aku dan membuatku semakin tersiksa dalam ketidakberdayaan. Beberapa kali kucoba menulis surat atau menelepon mereka, tapi semua itu tak lebih berharga dari segudang kesibukan mereka. Seribu satu alasan telah kulontarkan pada mereka. Namun, sepuluh ribu alasan lagi yang mereka kembalikan padaku untuk menolak ajakanku untuk pulang. Sampai akhirnya, aku bosan untuk terus berharap dan memilih untuk diam. Tapi Ibu, oh… beliau tak pernah berhenti berharap, seolah ada sungai yang mengalir yang tak putus-putus di hatinya, yang terus mengaliri harapan-harapannya. “Maafkan aku Ibu,”bathinku. *** Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan. “Ibu, akhirnya harapan ibu terkabul. Hari ini kita bisa berkumpul bersama lagi, tepat di hari raya Idulfitri ini, Bu.” * Biodata Penulis Siswati kelahiran Nanggalo, 14 April 1981. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara. Ia salah satu peserta Sekolah Menulis FLP Sumbar 2020 dan alumni Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Sekarang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, ia menjadi guru di Perguruan Islam Ar Risalah, Padang. Siswati telah menerbitkan tulisannya dalam buku berjudul Perjalanan Berkah Menuju Ka’bah Sebuah Memoar. Tema Universal dalam Karya Sastra dan Tantangan Menulis Cerita yang Tak Biasa Oleh Azwar Sutan Malaka Pembina FLP Sumatera Barat dan Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UPN Veteran Jakarta Ragdi F Daye, dalam kata pengantar buku Kumpulan Cerpen Idul Fitri untuk Ibu 2020 menuliskan bahwa dalam cerpen-cerpen karya Forum Lingkar Pena FLP Sumatera Barat banyak menempatkan sosok ibu, baik secara harfiah maupun metaforis—keluarga, tradisi, masa lalu—menjadi titik sentral kehidupan para tokoh anak. Shabrina Maulida 2019 dalam skripsinya berjudul “Citra Ibu dalam Puisi Indonesia Modern Serta Implikasinya Terhadap Pembelajaran Sastra Indonesia di Sekolah” menyampaikan bahwa citra ibu dalam sebuah puisi karya sastra merupakan bayangan visual mengenai pribadi atau kesan mental seorang ibu yang diperoleh dari kata, frasa, atau kalimat yang ditulis dalam karya sastra tersebut. Lebih jauh Maulida 2019 menjelaskan bahwa munculnya citra ibu dalam imajinasi pembaca merupakan hasil dari usaha penulis dalam menyampaikan pandangannya. Pembaca dalam hal ini seakan dihadapkan langsung dengan sesuatu yang konkret mengenai ibu. Dengan demikian, penyajian citra dalam sebuah karya sastra tidak hanya untuk memberi gambaran yang jelas, tetapi juga dapat menarik perhatian, membangun suasana tertentu, hingga membantu dalam proses penafsiran dan penghayatan puisi. Dalam banyak karya kreatif pun, kisah tentang “Ibu” memang tak habis-habisnya dieksplorasi oleh insan kreatif. Baik di Sumatera Barat sendiri, Indonesia, bahkan karya-karya kreatif dunia. Di Indonesia beberapa karya sastra bertema Ibu diantaranya adalah Novel Dua Ibu karya Arswendo Atmowiloto yang diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 1981 dengan tebal 231 halaman. Motingo Busye menulis novel berjudul Rindu Ibu adalah Rinduku. Motinggo Busye merupakan sastrawan penting yang banyak menelurkan karya pada tahun 60-an. Rindu Ibu adalah Rinduku berkisah tentang seorang perempuan bernama Lisdayani, seorang istri dan ibu dari enam orang anak. Cerpen yang terbit di Kreatika minggu ini berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati. Cerpen ini bercerita tentang rindu seorang ibu terhadap anak-anaknya. Cerpen ini dibuka oleh penulisnya dengan dramatis di mana di tengah malam beberapa hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, seorang ibu keluar dari rumah untuk menunggu kehadiran anak-anaknya yang merantau. Cerita yang dramatis itu terlihat dari paragraf berikut ini “Mereka tidak akan pulang malam ini, Bu,” ucapku bergetar. Aku tahu, ibu tidak akan suka mendengar perkataanku barusan, tapi aku sudah tidak punya kata-kata lain. Bahkan, aku memang tidak pernah punya jawaban atas pandangan ibu barusan. Aku cuma diam, lalu berbalik masuk ke rumah. Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya. Aku sadar bahwa perbuatan itu pelan-pelan telah membunuh harapan ibu, harapan untuk berkumpul dengan anak-anaknya lagi. Siswati, 2020. Penekanan penulis terlihat pada kalimat “Kalau sudah begini, ibu pasti akan menangis, meratapi nasibnya yang telah dilupakan anak-anaknya.” Kisah ini menjadi bagian yang sering dieksplorasi penulis, kisah kerinduan seorang ibu pada anak-anaknya yang sudah hidup dengan kehidupan mereka masing-masing. Kisah rindu seorang ibu menjadi pilihan penulis untuk diceritakan baik dalam cerita pendek ataupun cerita-cerita yang panjang, adalah pilihan sadar bahwa tema tentang “Ibu” memang tema yang tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Dia tema abadi sepanjang masa, sama abadinya dengan kisah-kisah cinta orang tua pada anaknya. Ragdi F Daye 2020 melanjutkan bahwa kemelut relasi dan interaksi dengan keluarga mucul dalam “Idul Fitri untuk Ibu.” Berawal dari sejumlah perdebatan tentang anak-anak yang berkali-kali gagal—atau sengaja menolak?—mudik, hingga berujung pada “Hari ini, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun aku berkumpul lagi bersama keempat kakakku, tanpa kurang seorang pun. Cuma bedanya, kami tidak berkumpul di rumah yang penuh harapan ibu, tapi kami tengah mengelilingi dua pusara yang saling berdampingan.” Kisah cerita yang tragis yang ditulis oleh Siswati 2020 dimana anak-anak hanya bisa berkumpul ketika ibunya sudah tiada menjadi pesan moral yang dibebankan pada cerita. Penulis ingin menyampaikan pada pembaca, selama masih memiliki orang tua, sesibuk apapun urusan dunia yang sedang dihadapi sempatkanlah untuk menyilau orang yang sangat berjasa dalam hidup setiap manusia itu. Walaupun ada cerita-cerita tentang kejamnya “Ibu” dalam beberapa karya sastra, namun tema tentang jasa para “Ibu” selalu mendominasi tema-tema cerita tentang ibu. Hal ini menunjukkan bahwa pilihan tema yang universal ini selalu menarik untuk diceritakan saat ini dan untuk masa depan. Tantangan dari mengangkat tema yang universal ini adalah sulitnya mengeksplorasi cerita tentang “Ibu” ini. Ini tentu karena sudah banyaknya cerita-cerita tentang ibu yang rindu pada anak-anaknya. Hal ini jugalah yang menjadi kelemahan dalam cerita pendek berjudul “Idul Fitri untuk Ibu” karya Siswati ini. Tema yang universal dan sudah sering berulang dalam beberapa karya sastra ini membuat cerpen ini sangat mudah untuk dibaca alur cerita dan endingnya. Satu paragraf membaca cerpen ini seolah sudah memberi gambaran pada pembaca bagaimana akhir cerpennya. Setelah membaca beberapa paragraf awal, pembaca bisa menebak akhir cerpen ini. Apakah akan mengarahkan pada cerita dengan happy ending akhir cerita bahagia atau cerita dengan sad ending akhir cerita sedih. Jika cerita akan berakhir bahagia, tentu sebelum lebaran datang, anak-anak yang dirindukan oleh tokoh ibu ini akan bisa pulang melihat sang ibu walaupun dengan berbagai tantangan yang dhadapi anak-anaknya. Sementara itu jika cerita ini akan berakhir sedih, ya…sudah dapat ditebak juga bahwa sang ibu akan merana menunggu anaknya yang tak datang-datang sampai hari lebaran tiba. Nah, Siswati teryata memilih cerpen “Idul Fitri untuk Ibu” berakhir dengan sedih sad ending dimana ia “membunuh” tokoh Ibu dalam cerpennya sebelum anak-anaknya berkumpul melihatnya. Pilihan tema sedih ini tentu dapat dimaklumi karena pengarang ingin menekankan pesan moral bahwa jangan sampai terlambat menjumpai sosok ibu, apalagi terlambat berbakti pada ibu walau hanya dengan memenuhi keinginannya untuk berkumpul pada hari raya. Sebagai lulusan Sastra Indonesia, Siswati perlu ditantang untuk menulis cerita yang lebih menarik dengan mengangkat tema-tema yang tidak universal. Ada pilihan tema yang mungkin jarang dieksplorasi dalam karya-karya fiksi tentang banyak hal, seperti perjuangan guru yang berkebutuhan khusus, tentang cinta yang tak biasa antara anak manusia, tentang hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya dan tentang banyak hal yang spesifik yang jarang dieksplorasi dalam cerita. Memang butuh keberanian untuk menghadirkan karya sastra yang bertema tidak biasa, akan tetapi untuk memperkaya khasanah sastra Indonesia, kita membutuhkan karya-karya yang tidak biasa itu. Semoga saja Siswati dan juga pengarang-pengarang lainnya di Forum Lingkar Pena FLP khususnya dan di Indonesia pada umumnya mampu menjawab tantangan ini –Menulis karya sastra dengan tema yang tak biasa–. * Catatan Kolom ini diasuh oleh FLP Sumatera Barat bekerja sama dengan Kolom ini diperuntukkan untuk pemula agar semakin mencintai dunia sastra cerpen dan puisi. Adapun kritik dalam kolom ini tidak mutlak merepresentasikan semua pembaca. Kirimkan cerpen atau puisimu ke karyaflpsumbar Sobat Guru Penyemangat. Selamat Menyambut Waktu Raya Idul Fitri, ya. Betewe, Sobat mutakadim kronologi-jalan dan ke mana saja nih plong momentum cuti Idul Fitri? Apakah ke kebun fauna, taman bunga, alias malah santai belaka di kondominium? Nah, jadi bisa teko Sobat menuliskan kisahan pendek mengenai liburan selama Idul Fitri periode ini. Berikut sajikan sempurna cerita libur Waktu Raya Idul Fitri yang ki menenangkan amarah cak bagi anak SD. Cerita Liburan Hari Raya Idul Fitri ke Rumah Nini Assalamu’alaikum. Hai teman-teman. Perkenalkan nama saya “Guru Penyemangat”. Pada kesempatan yang beruntung ini saya akan menceritakan pengalaman saya tentang perlop sekolah plong pejaka Periode Raya Idul Fitri. Lega awalnya, saya bersama batih melaksanakan Shalat Idul Fitri berjamaah di surau dekat rumah. Sesudah itu kami mengikuti kegiatan halal bihalal di bandarsah, serta singgah ke bilang rumah tetangga khususnya di intim wadah terlampau kami. Barulah jelang siang waktu, saya bersama tanggungan dan kakak bergegas pergi perlop ke rumah nenek. Sejatinya jarak tempuh ke kondominium nini tidak terlalu jauh, adalah sekitar 30 KM yang mana dapat ditempuh dalam waktu 45 menit – 1 jam pelawatan. Cuma karena suasananya semenjana Tahun Raya Idul Fitri, maka jalan bentar cukup dipadati maka dari itu umat Islam yang hijau belaka pulang berpunca langgar maupun mereka yang hijau hendak bepergian bakal bersilaturahmi. Saya bersama keluarga berangkat menggunakan sepeda motor. Kami berangkat pukul WIB berempat. Saya berbonceng dengan kakak, sedangkan ayah bersama ibu mengendarai suatu motor. Sebelum tiba, kami terlebih adv amat menyiapkan makan siang, cemilan, oleh-oleh, sampai baju silih. Ya, rencananya selain berkunjung ke rumah nenek, kami akan liburan di sana selama sejumlah hari. Setelah melakukan perjalanan dengan pit motor selama hampir satu jam, alhasil kami menginjak di kondominium nenek. Tahu-tahu kami memarkirkan roda induk bala, nenek mutakadim bersiap di depan ki lakukan menyapa. Sontak saja saya bersama keluarga serempak bersalaman dan mengucapkan harap maaf lahir dan batin. Penjelajahan sejauh satu jam di atas vespa memang terasa cukup melelahkan. Namun kami beruntung karena nenek sudah menyiapkan minuman berupa jus sitrus dingin. Saya pun bercerita banyak kepada nenek, terutama aktivitas kami selama bulan puasa Ramadan. Namun setelah Zuhur saya dan teteh simultan tidur siang karena merasa kelelahan. Menjelang burit, ayah dan ibu pun minta diri pulang ke rumah karena suka-suka kegiatan silaturahmi dan pekerjaan yang lain bisa ditinggal. Sedangkan aku dan mbak menginap di rumah nenek. Selama di kondominium nenek, saya pun diajak berlibur di sekitaran desa. Saya bersama kakak diajak nenek bagi mencari belut di sawah, memancing ikan di pinggir wai, setakat menunggu durian runtuh di kebun kepunyaan nenek. Liburan Idul Fitri tahun ini sungguh seru dan berkesan sekali untuk saya. Kesan nan paling seru dan banyol menurut saya ialah ketika kami duduk di dangau, kemudian ada bunyi durian jatuh. Setelah kami datangi dan cari-cari, ternyata bukan durian yang kami bisa melainkan biji kemaluan kelapa yang mutakadim kering. Meski begitu, beberapa masa kemudian kami loyal mendapatkan biji pelir durian matang nan amat ranum dan mak-nyus. Begitulah kisah saya selama liburan sekolah sreg pejaka Tahun Raya Idul Fitri waktu ini. Liburan ke flat nenek dan mengunjungi alam sekitar adalah salah suatu pilihan vakansi yang murah, menyehatkan, dan pula berkesan. Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. * Takdirnya cermin narasi perlop Hari Raya Idul Fitri di atas agak mirip dengan kisah Sobat Master Penyemangat, silakan ganti merek, dan tuliskan sasaran di mana tempat lalu keluarga maupun nama ajang nan menjadi sortiran kelepasan. Bisa Baca Contoh Cerpen Tentang Liburan di Rumah Saja Cerita Liburan Idul Fitri Bersama Keluarga ke Taman Bunga Vakansi Idul Fitri tahun ini pas tinggi, dan alhamdulillah endemi mutakadim relatif menghilang dari Indonesia. Dengan demikian, kegiatan-kegiatan yang mengikutsertakan keramaian pun mendatangi tidak dibatasi lagi. Saya bersama keluarga pula bersyukur karena meskipun ldulfitri tahun ini bukan mudik, kami tetap dapat liburan ke destinasi pariwisata di wilayah sendiri. Sreg hari pertama sampai ketiga Idul Fitri, saya bersama keluarga belum melakukan kelepasan. Kami masih sibuk bersilaturahmi ke apartemen tetangga, teman-kebalikan, guru, serta sanak-saudara nan enggak bersisa jauh dari rumah. Nah, memasuki Musim Raya Idul Fitri yang keempat, saya lagi diajak oleh ayah dan ibu untuk mengunjungi ujana bunga. Sesudah mengaksesnya lewat instagram, ternyata taman rente tersebut cukup lengkap dan mempunyai spot foto yang bagus. Apalagi, selain spot foto ada pula kebun jeruk dan tipar stroberi mini di mana pengunjungnya boleh memetik, berfoto, dan membawa pulang panenannya koteng. Karena merasa terpesona, kami pun berangkat menghadap taman anak uang tersebut. Jaraknya dari rumah enggak terlalu jauh, yaitu sekitar 15 KM. Dengan demikian, jarak tempuhnya ialah sekitar 25-30 menit. Kami berangkat pukul WIB dan tiba di sana pukul WIB. Sengaja ayah saya memintal waktu sore karena cuaca siang hari sangatlah terik. Sesampainya di taman anak uang, kami langsung membeli karcis. Tidak lupa mbuk saya membelikan kami beberapa vas minuman segar. Memasuki yojana anak uang, saya lihat banyak sekali petandang yang datang. Di sana terhidang beraneka ragam keberagaman rente baik yang sedang mekar maupun ladang dengan biji kemaluan stroberi nan abang. Beragam jenis bunga ditanam dengan rapi di atas bedengan, dan akses jalannya pun berupa batako yang sudah lalu diwarnai. Dengan demikian, kami tidak diperbolehkan untuk memijak, atau justru menusuk anak uang hantam kromo. Adapun tiket cak bagi masuk ke yojana bunga ini cukup murah, adalah Sedangkan untuk meradak stroberi, kami harus membayar Cak agar terdengar duga mahal, namun dengan uang kami dapat ranggah stroberi hingga maksimal 2 kg sekaligus membawanya pulang secara percuma. Saya pun didampingi dengan kakak untuk balung stroberi. Karena kebetulan kami mengapalkan pot air mineral, sembari memetik stroberi saya kembali mencicipinya serempak di kebun tersebut. Rasanya manis dan sedikit asam. Setelah memetik stroberi, kami pun mengamalkan sesi foto di beberapa spot menyentak di yojana bunga, dan selingkung pemukul WIB, kami pula segera pulang ke flat.* *** Demikianlah tadi sajian ringkas Temperatur Penggelora tentang lengkap cerita sumir tentang liburan sejauh Hari Raya Idul Fitri yang seru dan meredakan. Semoga Lanjut Baca Contoh Cerita Pengalaman Liburan ke Medan Wisata yang Berkesan Penghujung Ramadan telah tiba, sekarang adalah hari terakhir di bulan Ramadan. Aku bahagia karena Idul Fitri telah tiba. Namun, aku juga sedih karena Ramadan akan pergi. Aku berharap dan berdoa supaya tahun depan aku dan keluargaku masih dapat bertemu kembali dengan Ramadan, dan menjalani Ramadan bersama-sama lagi. Waktu sudah menunjukkan pukul WIB ibuku memasak ketupat sayur di dapur, seperti lebaran sebelumnya pasti selalu ada ketupat sayur di rumahku untuk disantap bersama-sama oleh keluarga. Aku membantu ibuku menyiapkan bumbu-bumbu ketupat, sedangkan ayahku sedang mengecat pagar rumah agar terlihat lebih asri, kakak laki-lakiku sedang mencuci motornya di doorsmeer. Aku sangat senang hawa-hawa seperti ini jarang sekali ditemui, tetanggaku yang juga mengecat rumahnya, ada juga yang menggunakan gorden baru, serta keset baru. Ibu memanggilku, “Aulia! Sini ke dapur, bantu Ibu memasak ketupat sayur. Coba kamu potongin wortel dan daun bawangnya” ujar ibu. “Baik, Bu.” Sahutku. Kemudian aku memotong wortel dan daun bawang sesuai yang ibu inginkan. Kemudian datang keponakanku yang berumur 2 tahun, dengan tingkahnya yang konyol dan menggemaskan ia meminta air minum kepadaku, akhirnya aku memberinya minum. Suasana sangat bahagia pada saat itu. Kurasa waktu begitu terburu-buru, kini langit sudah berubah warna menjadi gelap, pertanda bahwa hari sudah berganti malam. Gaung takbir pun telah terdengar, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar Walillahilham..” Sejak tadi sore aku dan keluargaku tidak berhenti-hentinya menyiapkan dan merapihkan rumah untuk menyambut lebaran esok hari, kue-kue lebaran sudah disiapkan beserta ketupat sayur yang sudah matang, baju lebaran sudah disetrika. Setelah itu, aku, ibu, dan ayahku saling menggemakan takbir di rumah. Aku sudah tidak sabar untuk hari lebaran, biasanya setiap lebaran aku dan keluargaku keliling kampung untuk bersalaman dan bermaaf-maafan. Kakakku setiap malam takbiran selalu mengikuti lomba takbir dan Alhamdulillah ia dan timnya mendapatkan juara 2 untuk tahun ini. Hari telah berganti, hari yang kutunggu-tunggu sudah tiba. Namun, ada yang aneh pada pagi hari ini. Aku terbangun karena mendengar suara tangisan ibuku. Suara itu terdengar dari kamar ayah dan ibuku. “Ayah, bangun, Yah jangan tinggalkan kami.” Kata ibu bersamaan dengan isak tangisnya. “Ayah, bangun!” Kata kakakku. Aku segera berlari menuju kamar ayah dan ibu, ternyata ayahku sudah pergi mendahului kami. Aku sangat tidak menyangka, sekujur tubuhku lemas atas kejadian itu, “Innalilahi wa innailaihi raji’un” ucapku dalam hati. Bibirku tidak sanggup untuk mengeluarkan satu kata pun, hanya air mata yang mengalir deras di pipiku. Ibu memelukku dan mencoba menenangkan aku yang sudah tidak berdaya. Lalu kakakku segera pergi ke rumah RT dan pergi ke masjid untuk memberikan informasi atas meninggalnya ayah kami. Hati kami begitu hancur, di hari raya yang fitri nan suci, kami berharap akan bahagia bersama keluarga besar, ternyata ayah sudah pergi dijemput Sang Ilahi. Hanya doa yang bisa kupanjatkan, semoga ayah dapat tenang di alam sana, dan ayah dapat masuk ke dalam surga-Nya Allah SWT, Aamiin. Ternyata Ramadan tahun ini adalah Ramadan terakhir bersama ayah, begitu juga untuk Idul Fitri tahun ini, ayah tidak lagi menemani. Ayah membiarkan kami merayakan lebaran tanpa dirinya. Hatiku hancur, belum sempat diri ini meminta maaf kepadanya. Belum sempat diri ini membahagiakan dirinya. Kini aku hanya memiliki satu orang tua, yaitu Ibuku. Aku selalu berdoa agar ibuku diberi umur yang panjang dan sehat selalu, agar kami bisa selalu bersama-sama dan aku dapat membuat bangga serta memberi kebahagiaan kepada ibuku selama di dunia. Kebiasaan kami untuk berkeliling kampung saat Idul Fitri pun tidak terlaksana pada tahun ini, karena kami harus mengurus dan mengubur jenazah ayah. “I love you, Ayah. Nanti kita kumpul lagi, ya di surga-Nya Allah. Aamiin.” Kataku, lalu menyium kening ayah sebelum dimasukkan ke dalam keranda oleh para tetanggaku. Aku melihat ibu mencoba untuk tetap tegar, kakakku yang ikut mengangkat jenazah ayah pun mencoba untuk terlihat baik-baik saja, walaupun aku tahu dalam hatinya begitu hancur atas kepergian ayah. Tahun ini Idul Fitri terakhirku bersama ayah. oleh Hamidah, Universitas Negeri Jakarta Post Views 1,998 Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Perempuan tua itu terduduk di balik jendela yang terbuka. Wajahnya datar dengan tatapan kosong. Angin basah dari bukit bertiup lembut, terasa seperti mengelus kulit dan rambutnya yang mulai merata keperakan. Pikirannya berjalan-jalan entah ke mana. Bila tersadar telah melamun, ia segera kembali melihat ke luar bawah sana aliran sungai dengan air jernih gemericik diantara batu-batu. Di bantaran kiri-kanan sungai rerumpatan rapi terawat serta beberapa tanaman petani yang memanfaatkan musim kemarau untuk berkebun sayur-mayur."Tinggal saja di sini, Mak. Supaya pikiranmu tenang dan jernih. Hatimu pasti cepat kembali bening seperti aliran air di bawah sana itu. . . .!" "Tinggal di sini? Pindah?" "Ya. Di sini tenang, nyaman.. . .!""Begitu menurutmu?""Dengan selalu melihat dan mengamati aliran air diantara batu-batu rasaku Emak tidak akan memikirkan hal lain yang memberatkan hati. Dunia Emak yang rumit dan membingungkan selama ini akan perlahan hilang untuk berganti dengan ketenangan dan kesenangan. . . !" ucap Pak Sulamun dengan suara jernih dan rendah pada suatu hari dulu, mungkin lima atau enam tahun Fitri memandangi suaminya dengan mata nanar, mata bertanya-tanya. Ia tidak membantah atau mengiyakan. Apa saja yang diucapkan suaminya masih berupa harapan, dan setiap harapan senantiasa baik dan menyenangkan. Entah nanti bagaimana kenyataannya. "Ini rumah siapa, dan mengapa harus di sini?" akhirnya Mak Fitri bertanya. Lirih, dan seperti tanpa sengaja pertanyaan itu Sulamun tidak segera menjawab. Mungkin jawabannya sulit, atau memang tidak perlu dijawab. Ia pikir toh lambat-laun nanti isterinya bakal tahu sendiri."Aku sengaja pesan ruangan yang ada jendelanya. Ada pemandangan ke luar yang indah. Ya, ruangan ini. . . !" 1 2 3 Lihat Cerpen Selengkapnya

cerpen tentang idul fitri